===== ". Selamat Datang dan Terima kasih anda telah mengunjungi Blog Pengawas Sekolah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur ." ====== ". Bersama mencerdaskan anak bangsa ." ===== ". Email : mkpsboltim@yahoo.co.id ." =====

Minggu, 01 April 2012

Saya Hanya Guru Sekolah Dasar

Tidak jarang saya didatangi oleh orang-orang yang memperkenalkan dirinya dengan ucapan: "Saya hanya guru sekolah dasar". Apa salahnya dengan jabatan guru SD? Seorang guru SD yang menjalankan profesinya dengan baik, dalam arti sesuai dengan tuntutan kerja keprofesian, adalah jauh lebih terhormat daripada seorang presiden yang tidak bisa memenuhi tuntutan-tuntutan tugas kepresidenannya dan lalu berusaha menutupi kekurangannya itu dengan kebohongan politik dan janji-janji palsu yang baru.
Kalau guru SD tersebut sebenarnya memang terpaksa melakukan kerja guru, karena dia merasa tidak mampu menjalankan kerja lain yang dianggapnya lebih terhormat dan bergaji lebih besar, dia juga tidak pantas bersikap sinis. Kalau dia sadar tidak sanggup meraih apa yang diinginkan, dia seharusnya menginginkan apa-apa yang disanggupinya.

 Perubahan zaman membawa serta perkembangan spesialisasi dan perkembangan ini, pada gilirannya, semakin memperbesar jumlah jenis profesi. Walaupun begitu, masih tetap kelihatan, bahkan menjadi semakin jelas, jumlah asal dari pelipatgandaan yang tak terbendung dari jumlah jenis profesi tadi. Yaitu, bila kita mau menyederhanakan jumlah tersebut, kita bisa meredusirnya menjadi dua yang hakiki, demi menyadari signifikansi dan makna dari setiap jenis profesi. Kedua jenis profesi itu adalah, pertama, "guru", kedua "dan lain-lain". Dalam kategori profesi yang kedua itu termasuk: presiden, menteri, jenderal, direktur, insinyur, dokter, dan lain-lain. Semua jabatan ter-sebut tidak akan ada jika tidak ada "guru".

Maka, guru pantas disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", karena seluruh permukaan bajunya tidak akan bisa menampung "bintang", kalau untuk setiap mahasiswa/siswa yang berhasil dibuatnya menjadi "orang", menjadi profesional yang tergolong pada profesi kategori kedua, perlu dinyatakan dengan satu tanda jasa.

Masalah melemahnya disiplin di kampus/sekolah berasal tidak hanya dari kekurangan dosen/guru, tetapi juga dari kegagalan sosial kita memberikan dosen/guru kemandirian yang cukup bagi penegakan otoritas dengan mudah. Setiap pemerintah di era reformasi menggalang usaha nasional untuk menaikkan gaji para tenaga pengajar dan mengangkat profesi guru dari lubang ketidakpedulian masyarakat. Namun, usaha untuk mendapatkan kembali respek dan martabat yang inheren dengan posisi guru tidak akan mudah dihasilkan oleh tambahan yang relatif cukup dari balas jasa (gaji, honor, dan lain-lain) atau oleh status sosial yang lebih tinggi.

Semua ini baru merupakan prasyarat yang diperlukan untuk menarik tenaga yang lebih kompeten ke profesi keguruan.

Namun, sikap masyarakat terhadap guru dan sikap guru terhadap profesinya sendiri akan menjadi faktor penentu. Bila orangtua mahasiswa/siswa betul-betul menanggapi dosen/guru dari anak-anaknya sebagai pendidik profesional dan tidak sekadar sebagai pegawai/pekerja pencari nafkah dan betul-betul mengajar anak-anaknya untuk menghormati dosen/guru sebagai orang tua kedua di kampus/sekolah, otoritas alami dari dosen/guru akan pulih kembali. Bila para dosen/guru menganggap dirinya sebagai tokoh penting di masyarakat dan bersikap sesuai dengan anggapan itu dengan penuh kebanggaan tanpa menyombongkan diri, mereka akan tetap mendapatkan respek alami dari anak-anak didiknya dan orangtua mereka.

Otoritas Guru

Respek alami itu datang dari jenis otoritas guru itu sendiri, dan sifat disiplin yang ditegakkannya melalui otoritas tersebut.

Setiap dosen/guru sebaiknya menyadari bahwa salah satu alasan penting dari otoritas dalam persekolahan adalah statusnya sebagai orang dewasa. Adalah Aristoteles yang menyatakan dengan kesahajaan seorang genius, bahwa pendidikan adalah suatu proses dari kedewasaan yang memberikan pelajaran kepada remaja. Biar bagaimanapun ada penghormatan alami, kalaupun bukan pemujaan, di kalangan anak-anak pada kedewasaan (terlepas dari kelanjutan usia). Walaupun orangtua mereka tidak mengatakan secara eksplisit supaya menghormati guru-gurunya, anak-anak ini secara intuitif mengetahui bahwa di sekolah mereka juga bergantung pada bimbingan dan kontrol orang-orang dewasa yang bisa juga berbeda dengan otoritas dari orangtuanya sendiri di rumah.

Sumber otoritas dosen/guru yang berasal dari kedewasaannya tentu tidak sama dengan otoritas orangtua di rumah, namun mudah dikaitkan satu sama lain. Agar menghasilkan bunyi, bertepuk memerlukan keterpaduan kerja dua tangan. Otoritas akan teguh bila anak dibiasakan patuh pada orangtua dan lalu mentransfer kebiasaan mematuhi orangtua tadi pada gurunya di sekolah. Anak-anak memerlukan panutan dan guru adalah tokoh yang (seharusnya) dapat memberikan itu di sekolah.

Berarti, perlu kita sadari bersama, demi perkembangan karakter dan budi pekerti anak yang terpuji, supaya orangtua bertindak sebagai guru kedua di rumah, sementara guru berperilaku sebagai orangtua kedua di sekolah melalui usaha pemantapan visi kedewasaan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Demikianlah, salah satu doktrin pendidikan yang tertua dan yang sampai sekarang masih berlaku adalah bahwa jenis disiplin yang terbaik adalah self discipline. Tugas guru pada setiap jenjang pendidikan adalah menciptakan tata tertib dan mengupayakan kepatuhan begitu rupa hingga tata tertib dan kepatuhan itu ditransfer dari luar forum ke dalam diri siswa.

Pada tahap awal, disiplin ini masih dibenarkan berupa tata tertib fisik. Di tingkat berikutnya, disiplin diwujudkan dengan jalan lebih canggih. Jika para siswa tanggap secara mental/intelektual dan berangsur-angsur menata pelajaran yang dipelajari ke dalam pola pengetahuan mereka sebelumnya, guru mereka dapat dikatakan menerapkan disiplin yang baik. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, disiplin yang baik berarti "belajar bagaimana belajar".

Yang juga perlu direnungi oleh para dosen/guru adalah kekuatan dalam (inner power) yang membuat siswa patuh tanpa kekerasan atau paksaan, begitu rupa hingga kekuatan itu pindah secara berangsur-angsur dari pendidik ke anak didik. Sebab, hal inilah yang merupakan rahasia dari pengajaran yang efektif, tidak hanya mengenai mata pelajaran, tetapi juga semua nilai yang diniscayakan bagi kehidupan manusia yang merdeka dan beradab. Orang yang dapat berbicara dengan otoritas adalah seorang guru alami walaupun jabatan formalnya bukan guru.

Otoritas, kedewasaan, bisa saja berasal dari banyak sumber, namun dampaknya pada kita tetap tunggal. Bila ia tidak ada tidak akan ada pembentukan otonomi secara riil dan semua pengajaran akan menjadi sia-sia belaka. Kemauan untuk mematuhi dan kehendak untuk membuat kepatuhan perlu sama-sama dipelajari. Selama kita tidak menemukan otoritas pada diri orang lain sebagai kekuatan yang mendorong pengilhaman kita untuk menundukkan impuls, selama itu pula kita tidak akan menemukan otoritas tersebut dalam diri kita.

Seorang guru bisa saja berupa seorang yang tenang, namun tetap dipatuhi, dia bisa mendominasi tanpa membentak. Kekuatan moralnya begitu rupa hingga para siswanya tidak bisa mengelakkannya. Namun, begitu seorang guru tidak lagi menarik selaku pribadi bagi para siswanya, dia tidak bisa lagi berfungsi sebagai panutan moral mereka. Jika kekuatan dalamnya tidak berkembang lagi, para siswanya akan mengejarnya dan pasti melampauinya. Kemungkinan seplebih dalam situasi sekarang, di mana jaringan informasi dan teknik komunikasi berkembang pesat.


Guru Sejati

Secara alami tidak ada guru yang tetap lebih "dewasa" daripada para siswanya, walaupun jarak umur alami tetap sama. Dia sudah menjalankan tugasnya dengan sempurna bila sudah mengantarkan para siswanya melampaui satu tahap dari perjalanan panjang ke arah pertumbuhan kematangan, kedewasaan, dan penguasaan diri. Dan guru yang baik memang tidak akan mengharapkan lebih dari itu, karena dia menyadari bahwa dia hanya merupakan means dan tidak menginginkan anak didiknya menjadi duplikat dari nilai-nilainya sendiri. Otoritas sejati dalam pembelajaran adalah selalu berusaha membuatnya tidak diperlukan lagi. Guru sejati adalah orang yang mengarahkan kita untuk jauh melampaui dirinya sendiri.

Anak-anak kini terbiasa meninggalkan guru tanpa merasa berutang budi, karena orangtua dan masyarakat juga berbuat demikian. Menyanyikan himne saja sebagai tanda terima kasih kepada guru sudah ditanggapi dengan sinis. Kalau kita kelak mengalami perubahan yang tidak menguntungkan dalam jabatan/kedudukan, kita baru teringat kepada guru sebagai orang yang memungkinkan kita bisa bertahan. Kekuatan moral yang dibinanya dalam pembentukan karakter kita melalui keteladanannya mungkin bisa membantu pencitraan kita sebagai orang yang pantas diteladani dalam menghadapi situasi yang serba sulit.

Mendidik manusia adalah kiat dari segala kiat, karena dia adalah yang paling kompleks dan paling misterius dari semua makhluk ciptaan Tuhan. Maka, orang yang merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas pendidikan jangan pernah lupa berfilosofi, yaitu kiat mengajukan pertanyaan yang sederhana, tetapi memerlukan jawaban yang serba kompleks. Tidak perlu ragu-ragu berbuat demikian karena mengajukan pertanyaan merupakan kebaktian dari nalar.